Pages

Kamis, 17 Mei 2012

Hai Puncak Merapi... Kenapa Kau sangat Sulit Didaki

      "Ayo naik gunung", begitulah kira-kira isi sms yang saya tujukan kepada beberapa teman saya.
Ya, waktu itu saya haus sekali merasakan suasana gunung, mencari sensasi yang luar biasa di atas sana, berkawan dengan angin malam, diterangi bintang-bintang, melawan trek yang begitu menyiksa kaki. Juga rindu sekali melihat awan yang terhampar luas di depan mata, hujan deras yang mengiringi langkah kaki, kabut yang menyelimuti tubuh dan memperkecil jarak pandang, serta gurauan teman-teman..
       Saat itu adalah libur semester 1, bertepatan dengan tahun baru, saya rasa akan sia-sia jika liburan hanya diisi dengan memejamkan mata dan merebahkan tubuh di atas kasur saja. Tak lengkap rasanya bila tidak mendaki, begitulah semboyan saya bila tiba hari libur. Akhir Desember 2011, saya mencoba mengajak beberapa teman saya untuk mendaki Gunung Sumbing. Padahal rencana mendaki sudah ada jauh-jauh hari sebelum liburan dan teman-teman saya tidak menolak ajakan saya ini, tapi tidak tau kenapa, saat liburan tiba dan 3 hari sebelum hari H, saya mencoba memastikan kalau pendakian ini benar-benar akan terlaksana. Sms saya sebarkan kepada teman-teman, dan dari sekian banyak teman, hanya 1 orang yang menjawab "ya". Dan siapa lagi kalau bukan Alkindi. Teman seperjuangan saya di pendakian-pendakian sebelumnya.
Sedangkan teman-teman yang lain memiliki alasan sendiri-sendiri  mengapa mereka menolak ajakan saya ini, ada yang pergi ke rumah neneknya, ada yang acara keluarga, ada yang mengurusi acara tahun baru di desanya, dan lain-lain... Tapi, tak apalah.



     Karena hanya 2  manusia saja yang akan benar-benar melakukan pendakian ini, maka tujuan ke Sumbing pun ditunda terlebih dulu, dan dialihkan ke dekat rumah, Gunung Merapi.
Alkindi mengajak teman karatenya, Fadhil, untuk gabung ke pendakian ini. Dan Alhamdulillah nya, tidak ada penolakan dari Fadhil. 3 orang cukup aman untuk para pendaki pemula seperti kami ini, dan kami pun janjian berkumpul di GOR Gelarsena, Klaten pada hari Jum'at, 30 Desember pukul 16.00 WIB. Saat saya tiba di sana, sudah ada 3 orang, ternyata Alkindi mengajak satu temannya lagi.
Seorang pria dengan wajah yang nampak lebih tua dari kami semua, tapi postur tubuhnya pendek, berpakaian batik lengan panjang, dengan celana dan peci hitam, "Assalamu'alaykum, Ismii Lukman", kata dia memperkenalkan diri dengan bahasa Arab sambil menjabat tangan saya. Ya, dia adalah teman SMP nya Alkindi yang sempat juga mengenyam pendidikan di suatu pondok pesantren. Setelah berkenalan, kami langsung saja berangkat menuju ke basecamp G. Merapi di Selo, Boyolali. Dengan 2 kendaraan bermotor kami saling berboncengan. Alkindi dengan Syeh Lukman (begitu kami menyebutnya), dan saya dengan Fadhil. Perjalanan selama 1,5 jam kami tempuh dengan melewati berbagai rintangan (halah, lebay), di antaranya ketika sampai di perbatasan Klaten - Boyolali jalan dialihkan dan kemudian kami berhenti untuk berteduh karena hujan. Sesampainya di basecamp, di sana sedang ada pengajian lalu kami turun dan istirahat sejenak di masjid. Setelah shalat maghrib dan Isya', hujan turun deras sekali, kami hanya berdo'a semoga nanti malam hujan sudah reda, karena rencananya kami akan naik pukul 12 malam. Setelah menunggu berjam-jam di masjid, lalu malam itu kami naik ke basecamp, menitipkan sepeda motor dan mengurus perijinan atau registrasi, tetapi tidak ada orang di sana, hanya para pendaki lain yang tidur di dalam sleeping bag, mungkin penjaga basecamp juga sudah tertidur. Karena kami telah lelah menunggu dari jam setengah tujuh tadi. Akhirnya kami terpaksa untuk mendaki tanpa ijin (yang ini jangan sekali - kali ditiru). Setelah pemanasan dan berdo'a kami langsung tancap gas.


                                                                            

 Hebat, trek nya Merapi ternyata sangat aduhai sekali, dari pertama langsung nanjak dengan tanah berbatu, lumayan licin karena habis hujan, dan ini sangat menantang. Tidak ada pos-pos pendakian di Merapi ini, sehingga tidak ada satupun tempat untuk berteduh dari hujan.
Pendakian aman-aman saja hingga pukul 03.00 WIB, setelah itu hujan deras mengguyur kami. Cepat-cepat kami pakai mantol dan melanjutkan perjalanan, angin berhembus kencang sekali. Suasana dingin menyelimuti tubuh kami. Sesekali kami berhenti untuk istirahat, aliran air dari atas menjadikan kami seperti berjalan di sungai yang banjir, memang iya.. Air dari atas itu mengalir hingga di atas mata kaki, sehingga sepatu dan sandal yang kami pakai jelas terendam dan basah kuyup, membuat kaki kami terasa mati karena sangat dingin. Tidak mau terlalu lama berdiam diri dan kedinginan, kami lanjutkan perjalanan dan menantang aliran air dari atas. Hingga pukul 04.30 WIB hujan sudah mulai reda, kami istirahat lagi dan tidur di area bebatuan, inilah batas vegetasi terakhir, di atas sana sudah ada hamparan pasir, itulah Pasar Bubrah. Kami tidur dengan posisi yang tidak terlalu nyaman, sewaktu bangun langit sudah mulai berwarna, saya membangunkan teman-teman yang lain untuk melaksanakan shalat shubuh. Kami shalat dengan keadaan basah kuyup. Setelah itu, kami mulai merasakan panasnya matahari, kami menghangatkan tubuh di sana.
Memasak mie, itu adalah ide yang bagus, 2 bungkus mie langsung kami masak dan santap bersama. Sambil menikmati pemandangan di sekitar, ada Gunung Merbabu yang menjulang tinggi di depan sana, lalu ada juga Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet yang nampak berjajar di Barat Laut sana, nampak indah sekali. Setelah itu, tidak lupa juga kami mengabadikan momen langka ini, jeprat-jepret pemandangan yang agung dan menawan, kemudian kami berdiskusi untuk melanjutkan perjalanan ke puncak atau tidak. Ternyata, teman - teman ingin menyudahi saja, dan turun. Karena kondisi tubuh mereka yang lelah, serta rasa dingin yang masih tersisa setelah semalaman diguyur hujan. Maka, kami pun sepakat untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 08.00 WIB, kami turun menuju basecamp.
Di perjalanan kami berpapasan dengan banyak pendaki, dan setiap bertemu mereka selalu menanyakan apakah kami sampai puncak atau tidak, yah... dengan nada sedikit malu, kami mengatakan tidak,semalam banjir dan badai. Hehehe.

     Pukul 10.00 WIB kami sampai di basecamp, istirahat sejenak sambil memanskan tubuh lagi, karena mentari sudah bersinar terik di atas sana. Pukul 11.00 WIB kami pulang menuju rumah masing - masing.
Saya mengantarkan Fadhil, sampai di GOR kemudian pamit pulang. Sampai rumah tepat saat adzan Dzuhur. Setelah itu saya istirahat lagi sepuas-puasnya di rumah.
Yaaah, inilah pertama kalinya saya tidak dapat mencapai puncak gunung yang saya daki. Suatu saat akan kucoba lagi.

     Sekian catatan perjalanan saya, terima kasih.
 

2 komentar:

Anonim mengatakan...

orang seperti kita tidak pantas mati di kasur

Hazqial Hafazhah mengatakan...

Weh, ws ketemu.